Sosial Budaya
Aspek sosial budaya yang terdapat disana, sangat menarik sekali, karena masih manjungjung tinggi norma dan nilai sepeninggal para leluhurnya. Mulai dari aspek moral, etika, estetika hingga hubungan antar individu satu dengan yang lainnya.
Masyarakat disana masih memegang teguh dan percaya atas nilai-nilai yang telah ada secara turun temurun, yang sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai filosofis, yang kemudian menghasilkan tatanan sosial yang menjungjung tinggi kearifan lokalnya tersebut. Tidak terlepas dari budaya yang telah mengakar, semuanya merupakan hasil dari pemikiran sejak dahulu yang berkembang hingga sampai saat ini. Maka tidak aneh jika masyarakat disana sangat taat terhadap hukum yang berlaku.
Jika melihat terhadap latar belakang kebudayaan disana, secara historis daerah tersebut merupakan tempat yang dianggap penting pada jaman kerajaan, jaman para wali, hingga jaman kolonial Belanda. Namun tetap ageman atau kepercayaan disana memegang teguh terhadap Budaya Sunda. Meskipun berada di kaki Gunung Tilu, pola pikir masyarakat, dan keseharian disana tidak jauh berbeda dengan daerah lainnya, hanya yang membedakan disana terdapat kewajiban untuk menaati hukum adat yang berlaku, sehingga tidak dapat bertingkah seenaknya.
Ada satu ketentuan yang berlaku di Kampung Adat Cikondang tersebut, yaitu mengenai penentuan Ketua Adat dan Juru Kunci Rumah adat. Jika penentuan Ketua Kampung Adat, semua masyarakat yang ada disana bisa berpotensi, pastinya dengan catatan memiliki pengaruh dan jasa-jasa yang telah diberikan terhadap Kampung Adat. Jika pemilihan Juru Kunci atau Kuncen Rumah Adat itu dilakukan secara turun temurun, tidak sembarang orang bisa, menurut penelusuran bahkan pegawai yang bekerja disana pun itu harus secara turun temurun, seperti halnya pasapon (tukang sapu dan bersih-bersih) itu harus turun temurun.
Ajang berkumpul semua elemen masyarakat disana yaitu ketika event tahunan, salah satunya Wuku Taun. Pada acara tersebut, semua berkumpul, berdoa dan memberikan persembahan di Rumah Adat sebagai bentuk rasa sukur terhadap Tuhan yang Maha Esa dan para leluhur terdahulu. Diselangi juga dengan persembahan musik Tradisinal Beluk dan berbagai makanan khas asli Cikondang. Acara tersebut, menjadi daya tarik tersendiri, karena banyak sekali pengunjung yang datang ke acara tersebut, bahkan para Pejabat pun ikut hadir.
Potensi Pariwisata
Kampung Adat Cikondang merupakan situs warisan di bawah naungan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bandung, secara hukum situs tersebut telah diakui dan diperkirakan telah ada sejak abad ke-16 Masehi. Objek utama dari Kampung Adat Cikondang adalah Rumah Adat Cikondang.
Rumah Adat Cikondang merupakan suatu tempat yang sangat hormati oleh warga sekitar, karena memiliki sejarah yang sangat panjang. Dalam komplek rumah adat tersebut terdapat hutan larangan yang tidak sembarang orang bisa memasukinya, kemudian ada makam Kramat yang menurut penuturan Pak Kuncen yang jaga disana, makam tersebut merupakan makan wali yang telah menyebarkan agama Islam di Jawa Barat, kemudian ada leuit sebagai tempat penyimpangan beras dan pangan lainnya agar awet. Berlaku juga pada runah adat sendiri bahwa tidak sembarang orang masuk ke dalam dengan catatan yang non-islam dan wanita haid tidak boleh kecuali sangat membutuhkan dan mendesak baru boleh.
Budaya tani dan lahan tani adat merupakan objek lain yang bisa menjadi alternatif pariwisata, karena biasanya kampung-kampung adat memiliki norma dan aturan mengenai tata kelola lahan adat. Dan pada masa panen raya, ada acara perayaan hasil panen yang menjadi daya tarik bagi pengunjung.
Pada alat keseniannya, ada alat musik asli Kampung Adat Cikondang yaitu Beluk, biasanya alat ini digunakan dalam acara-acara besar seperti pesta panen raya, hajatan, kemerdekaan dan lainnya. Begitupun dalam memainkannya tidak dapat digunakan oleh sembarang orang. Selain alat kesenian, ada juga kerajinan tangan seperti frame foto (figura) dari bambu, bekong (cangkir dari bambu), sendal refleksi dan alat bantu refleksi.
Dan yang paling menarik perhatian adalah perayaan Wuku Taun yang dilakukan setahun sekali dari tanggal 1-15 Muharram tahun Hijriyah, karena melibatkan seluruh aspek masyarakat sekitar dan pelaksanaan puncaknya yaitu pada tanggal 15 muharam.
Toponimi Daerah Sekitar
Pangalengan
Sejarah nama Pangalengan, di tempat tersebut pada
jaman dahulu kala ada Goa untuk berlindung dari karaman (rampog/begal). Rakyat
se-Kabupaten Bandung sangat resah akan adanya rampog tersebut, serta Pemerintah
juga tidak dapat berkutik, pada suatu masa ada seorang yang sangat gagah
berani, sanggup untuk membasmi rampog tersebut. yaitu Camat Majalaya, tanpa
bantuan orang lain ia masuk ke Goa Karaman dengan tangan kosong. Setelah beberapa
waktu beliau keluar dari goa, sembari membawa pemimpin karaman, pakaiannya
penuh dengan sayatan-sayatan golok. Namun tanpa luka sedikitpun. Di luar telah
berkumpul Bupati Beserta Saudagar-saudagar dari Bandung dengan tampak bahagia,
Camat Majalaya dikaleng (dirangkul) oleh Bupati, serta diberi gelar Damang
kemudian dikenal dengan nama Raden Raksa Nagara. Itulah sejarah nama tempat
tersebut, sehingga sampai saat ini disebut Pangalengan. Sumber: Kandaga 1957
Dalam
sejarah lain yang berkembang di masyarakat, bahwa Pangalengan adalah tempat
Pakaleng-kaleng (saling merangkul) satu sama lain dari berbagai daerah dan
latar belakang kebudayaan, sehingga saling merangkul satu sama lain dan dinamai
lah Pangalengan
Lamajang
Lamajang merupakan nama Desa di Kecamatan
Pangalengan yang berbatasan langsung dengan kecamatan Cimaung dan Pasirjambu.
Dalam sejarah penamaan tempat tersebut, kata “Lamajang” berasal dari dua suku
kata bahasa Sunda laun-laun (pelan-pelan) dan majeng
(maju dan berkembang). Menurut penelusuran ke sesepuh yang ada disana, bahwa
penamaan tersebut telah disematkan oleh para lelehur yang terdahulu, dengan
tujuan agar daerah tersebut akan maju dan berkembang pada suatu masa yang akan
datang (masa sekarang).
Cikondang
Cikondang merupakan nama Kampung adat yang ada di
Desa Lamajang, Cikondang bersal dari dua suku kata bahasa Sunda yaitu cai (air) dan kondang (pohon
kondang), penamaan tersebut lebih terhadap pemaknaan tempat tersebut, karena
pada dahulu kala ada air yang mengalir di bawah pohon kondang atau melewatinya.
Pada saat ini, pohon tersebut memang sudah jarang sekali diemukan, namun tetap
Cikondang menjadi penyebutan daerah tersebut.
Logawa
Logawa merupakan nama salah satu Kampung yang ada di
Desa Lamajang, Logawa dalam bahasa lain biasa disebut Legowo, yang artinya menerima dan lapang dada. Menurut informasi
yang diterima, di daerah tersebut pernah terjadi suatu peristiwa yang memilukan
sehingga memaksa masyarakat disekitar menerima atas apa yang telah terjadi,
maka disebutlah legawa.
Batu Eon (batu éon)
Disebut juga batu nunggal karena batunya sangat
besar dan satu-satunya di daerah tersebut. Menurut penuturan yang dilakukan,
pada tahun 1955 ada sebuah proyek yang bertujuan membuka perusahaan, lahan yang
terdapat batu besar merupakan lahan yang termasuk dalam proyek tersebut. Anehnya
batu tersebut tidak bisa dibongkar apalagi dihancurkan, pada suatu hari
didatangkanlah Pak Eon untuk mem-bor batu tersebut, berselang satu minggu
setelah itu, pak Eon meninggal dunia, maka disebutlah Batu Eon.
Penulis : Najmy Adilla Syafruddin (180210170037)
0 komentar:
Posting Komentar